Pura Taman Meganda dan Ceritanya
"Petruk, tolong!"
Langit di atas Pura Taman Meganda tiba-tiba sangat gelap seperti tertutup awan mendung yang pekat. Tidak lupa ada banyak suara gemuruh di balik awan tersebut. Bagong terlihat sangat ketakutan dan duduk meringkuk di bawah pura. Semar dan Gareng yang juga kebingungan memutuskan untuk menarik Bagong dan keluar dari Pura Taman Meganda.
"Lebih baik kita pulang saja, sepertinya kita sudah berbuat hal yang tidak menyenangkan leluhur" kata Semar.
Kami semua mengangguk dan berusaha untuk pulang di tengah kegelapan. Tetapi, aneh sekali. Sudah 15 menit sejak kami keluar dari Pura Taman Meganda, rasanya kami tidak menemukan cahaya sama sekali. Bahkan, kami seperti hanya berputar-putar di satu tempat.
Karena bingung, Semar memutuskan kami beristirahat sejenak di bawah pohon beringin yang tiba-tiba terlihat di hadapan kami. Kata Semar, nampaknya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan dulu karena cuaca yang tidak memungkinkan.
5 menit beristirahat, tiba-tiba muncul seorang nenek paruh baya dari balik pohon dan menyapa kami. Kemudian ia bertanya, sedang apa kami di sini.
"Kami sedang beristirahat, nek. Langitnya gelap sekali, dan sepertinya kami tersasar." jawab Gareng
Nenek tersebut menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba melihat Bagong dengan tajam. "Sepertinya ada salah satu dari kalian yang berkata kasar, ya, ketika di Pura Taman Meganda tadi." kata Nenek
Bagong menundukkan kepalanya dan mengangguk pelan. "Iya, nek."
"Jangan pernah berkata kotor, kasar, atau kata-kata yang tidak baik selama berada di daerah Pura Taman Meganda ini! Begitu pun dengan perbuatan, jangan sekali-sekali berbuat yang tidak baik. Hormati lah leluhur yang berada di daerah ini, maupun daerah lain." kata Nenek memberikan nasihat.
"Baik, nek. Terima kasih atas nasihatnya," jawab Semar. "Lalu, bagaimana caranya agar kami bisa kembali pulang?"
"Kalian harus sembahyang dahulu di Pura Taman Meganda, memohon maaf kepada leluhur agar kalian diizinkan pulang."
"Baik, nek. Terima kasih. Kalau begitu, kami akan kembali ke Pura Taman Meganda untuk sembahyang."
Sampai sini dulu ya Petruk menemani teman-teman Punokawan.
Langit di atas Pura Taman Meganda tiba-tiba sangat gelap seperti tertutup awan mendung yang pekat. Tidak lupa ada banyak suara gemuruh di balik awan tersebut. Bagong terlihat sangat ketakutan dan duduk meringkuk di bawah pura. Semar dan Gareng yang juga kebingungan memutuskan untuk menarik Bagong dan keluar dari Pura Taman Meganda.
"Lebih baik kita pulang saja, sepertinya kita sudah berbuat hal yang tidak menyenangkan leluhur" kata Semar.
Kami semua mengangguk dan berusaha untuk pulang di tengah kegelapan. Tetapi, aneh sekali. Sudah 15 menit sejak kami keluar dari Pura Taman Meganda, rasanya kami tidak menemukan cahaya sama sekali. Bahkan, kami seperti hanya berputar-putar di satu tempat.
Karena bingung, Semar memutuskan kami beristirahat sejenak di bawah pohon beringin yang tiba-tiba terlihat di hadapan kami. Kata Semar, nampaknya kita tidak bisa melanjutkan perjalanan dulu karena cuaca yang tidak memungkinkan.
5 menit beristirahat, tiba-tiba muncul seorang nenek paruh baya dari balik pohon dan menyapa kami. Kemudian ia bertanya, sedang apa kami di sini.
"Kami sedang beristirahat, nek. Langitnya gelap sekali, dan sepertinya kami tersasar." jawab Gareng
Nenek tersebut menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba melihat Bagong dengan tajam. "Sepertinya ada salah satu dari kalian yang berkata kasar, ya, ketika di Pura Taman Meganda tadi." kata Nenek
Bagong menundukkan kepalanya dan mengangguk pelan. "Iya, nek."
"Jangan pernah berkata kotor, kasar, atau kata-kata yang tidak baik selama berada di daerah Pura Taman Meganda ini! Begitu pun dengan perbuatan, jangan sekali-sekali berbuat yang tidak baik. Hormati lah leluhur yang berada di daerah ini, maupun daerah lain." kata Nenek memberikan nasihat.
"Baik, nek. Terima kasih atas nasihatnya," jawab Semar. "Lalu, bagaimana caranya agar kami bisa kembali pulang?"
"Kalian harus sembahyang dahulu di Pura Taman Meganda, memohon maaf kepada leluhur agar kalian diizinkan pulang."
"Baik, nek. Terima kasih. Kalau begitu, kami akan kembali ke Pura Taman Meganda untuk sembahyang."
***
Nah, teman Punokawan, bagaimana perjalanan kedua kali ini? Sedikit menegangkan, ya?
Kata Petruk, sih, perjalanan di Pura Taman Meganda, Bali, kali ini sangat menyenangkan namun juga menegangkan. Terlebih lagi ketika leluhur menegur kami atas perbuatan salah yang kami perbuat. Tapi, jangan lupa, teman-teman, selalu ada banyak pelajaran yang didapat dari setiap perbuatan. Nah, pelajaran kali ini adalah:
Ketika mengunjungi suatu tempat yang sakral, seperti tempat keagamaan, ada baiknya teman-teman menjaga perkataan dan perbuatan yang baik selama berada di sana.
Dengan melakukan kedua hal tersebut, berarti teman-teman sudah berhasil menghormati leluhur dan rakyat sekitar yang menjaga tempat keagamaan tersebut. Teman-teman harus paham bahwa toleransi antar umat agama tidak hanya kepada pemeluk agamanya, tapi juga pada tempat ibadahnya.
Comments
Post a Comment